Suara Sikap - Penuhi penilaian mata kuliah Sinematografi, mahasiswa-mahasiswi Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta (UPNVY) menggelar acara screening film hasil karyanya di Laboratorium Public Relations, Kampus II Babarsari pada Senin (12/06) lalu. Dimulai pukul 16.00 WIB, acara ini menayangkan tiga karya dari masing-masing kelompok dengan membawa isu maskulinitas.
Karya pertama dengan judul Hina Tak Terhina mengangkat sebuah konflik yang melibatkan relasi kakak beradik. Pesan yang disampaikan merujuk pada hakikat bahwa laki-laki juga bisa menjadi korban kekerasan seksual. Digambarkan dalam film, ketika mereka mengalami hal tersebut maka rasanya sama seperti orang lain diperlakukan buruk hingga merasa gelisah, terpukul, dan terhina. Film pendek ini dibuat oleh kelompok 2 dengan sutradara Ammar Muhammad Arieb atau biasa dipanggil Ammar.
Ia menjelaskan bahwa sebenarnya laki-laki bisa bercerita ketika mengalami kekerasan seksual, bukan malah mundur dan merasa lemah. “Kami telah membangun set-up tentang bagaimana karakter laki-laki hidup sendiri dengan saudara perempuannya, tanpa orang tua, jadi untuk memberikan beberapa gambaran tentang mengapa dia merasa laki-laki itu harus dilihat sebagai laki-laki yang kuat, karena dia memiliki adik yang melihatnya sebagai panutan bagi adiknya,” terang Ammar.
Meskipun pemutaran film bersifat internal, namun Meike Lusye Karolus sebagai dosen pembimbing Mata Kuliah Sinematografi mengundang beberapa dosen dari lingkup Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UPNVY untuk ikut mengapresiasi dan mendiskusikan tiga film tersebut.
Salah satunya Virginia Ayu Sahita, dosen Program Studi Hubungan Masyarakat yang memiliki pengalaman dalam memproduksi film dan iklan. Ia mengomentari kelompok Ammar dari segi isi dan teknis pembuatan filmnya. Virginia menyampaikan isi dari film Hina Tak Terhina ini kurang lembut dan teknis kamera yang masih banyak shaking, sehingga mengurangi kenyamanan dalam menikmati adegan filmnya.
Karya kedua berjudul Asa menceritakan seorang minoritas yang hidup di sebuah lingkungan. Asa diartikan sebagai harapan sang tokoh ketika ingin melanjutkan pendidikan namun terkendala oleh biaya, sehingga ia mencari pekerjaan untuk membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan membiayai kehidupannya selama di perantauan.
Film berdurasi dua puluh menit ini berhasil dibuat oleh kelompok 3 yang disutradarai oleh Iqbal Maulana atau akrab dengan panggilan Iqbal. Ia membagikan cerita di balik pengangkatan isu rasisme pada filmnya. “Kenapa mengambil isu ini karena hal-hal tersebut sebenarnya sering terjadi di lingkungan sekitar khususnya di Yogyakartaa namun tidak ada yang notice, makanya kami mencoba mengangkat dengan dibuat film,” tutur Iqbal.
Hal ini kemudian dikomentari oleh Meike, dosen pembimbing mereka. Ia menganggap bahwa ketika menonton film Asa tidak menemukan unsur rasismenya. Yang diangkat hanyalah persoalan sehari-hari. Bukan saja dialami orang Papua, mahasiswa dari Ambon, Aceh, Jakarta, Bandung juga mengalami itu saat membayar UKT.
“Rasisme itu diskriminasi berdasarkan etnis ras tertentu. Banyak sekali ruang-ruang yang ada di film Asa bisa diisi dengan isu rasisme. Misalnya ada satu adegan di tempat makan kemudian ada satu orang yang berbeda ras dengan mereka datang dan memandang jijik, itu the form of racism. Tapi sayangnya tadi belum muncul jadi nanggung,” papar Meike.
Kemudian beranjak ke film terakhir, Ibnu Banu Suyatna atau akrab disapa Banu sebagai sutradara karya kelompok 1 ini memilih isu kesehatan mental sebagai topik dalam film berdurasi sepuluh menit. Bercerita tentang seorang laki-laki yang memiliki masalah kesehatan mental dan diputuskan oleh sang pacar.
Banu mengatakan bahwa pengangkatan isu ini berawal dari munculnya fenomena yang terjadi beberapa waktu di Yogyakarta. “Melihat sebuah fenomena mahasiswa lompat dari hotel ya, sehingga kami memberikan judul Lihat Dengar Rasakan, karena agar kita peduli ke sekitar dan melihat teman-teman kita, mendengarkan mereka dan merasakan apa yang sedang mereka rasakan,” jelas Banu.
Yuseptia Angretnowati sebagai dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Konsentrasi Broadcasting turut mengomentari film karya kelompok 1, “Inilah moment berharga ketika ilmu dipertemukan dengan hati, sehingga pesan yang diterima menjadi emosional. Semoga teman-teman bisa terus belajar dan apresiasi untuk Bu Meike dan kalian semua.”
Sebuah film pada akhirnya adalah produk yang akan dikomersilkan. Sehingga, tidak hanya urusan teknis dan artistik pada setiap adegannya saja yang perlu perhatian lebih. Unsur estetika pada design packaging film juga dapat menambah daya tarik publik untuk menontonnya.
“Dalam bisnis itu ada packaging, di sini itu ada desainnya. Harus memenuhi unique value preposition yang keluar dan catchy dilihat mata,” komentar Keny Rahmawati dosen Program Studi Administrasi Bisnis.
Menurutnya, dari segi produk pada marketing yang pertama kali dilihat adalah bagaimana produsen bisa memenuhi kebutuhan konsumen. Dimulai dari penemuan isu-isu yang sedang trend di masyarakat, barangkali itulah yang dicari dan diminati oleh pasar. Kemudian setelah mengetahui isu yang akan diangkat yang dipikirkan adalah bagaimana cara memvisualisasikannya. Keny mengungkapkan bahwa keseluruhan kelompok sudah bagus dan maksimal.
Tujuan mata kuliah Sinematografi adalah untuk mengajarkan mahasiswa bagaimana memproduksi, mengapresiasi, dan memahami film. Proses pembuatannya diawali dari praproduksi yang dimulai dengan memberikan konsep, kemudian diberikan pemahaman dasar tentang film serta apa saja divisi dalam tim produksi film.
“UTS kemarin tugasnya mengumpulkan proposal filmnya, setelahnya baru materi pra, produksi dan pascaproduksi, baru mereka eksekusi produksi. Jadi hari ini adalah bagian mereka apresiasi,” jelas Meike dosen pengampu mata kuliah Sinematografi.
Ia juga menerangkan bahwa mata kuliah ini merupakan project based yang output akhirnya adalah sebuah project. Indikator penilaiannya berupa dari keaktifan, kehadiran, tugas, serta sejalannya pemahaman teori dan praktik dari masing-masing mahasiswa. Meike mejelaskan bahwa di awal pemberian tugas, pemilihan konsep dan tema dibebaskan. Namun yang menarik adalah tiga karya film ini ternyata menjadi satu benang merah yaitu terkait isu maskulinitas. Ia berharap kepada mahasiswa agar terus belajar karena karya yang dihasilkan adalah potensi yang bisa dikirim dan dimasukkan dalam Festival Film tidak hanya berhenti sampai tahap ini.
Meskipun acara mundur satu jam akibat adanya kendala, namun antusias mahasiswa untuk melakukan screening film tidak gentar dibuktikan dengan hadirnya mereka yang tepat waktu. Arika Bagus Perdana dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Konsentrasi Broadcasting menyampaikan apresiasinya kepada semua kelompok. Ia berterima kasih kepada mereka yang sudah serius mengerjakan tugas hingga screening film. Arika merasa beruntung bisa melihat karya original mahasiswa-mahasiswi kelas Sinematografi ini dan berharap semoga memberikan perbaikan agar lebih tertantang dan optimis berbuat terbaik untuk diri sendiri dan program studi.
“Kita kan dikritik bahwa kampus kita mulai turun prestasinya, tapi dari sini kita bisa melihat banyak teman-teman yang serius untuk mengembangkan komunikasi sebagai wadah belajar bersama, jadi saya justru optimis kalian punya peluang untuk berkembang lebih baik ke depannya,” ungkap Arika.
Terakhir Meike menuturkan bahwa salah dan tidak sempurna adalah hal yang wajar agar kedepannya bisa belajar untuk menjadi lebih baik lagi. “Sebenarnya menjadi manusia kan prosesnya disitu, bukan menciptakan karya langsung satu kali bagus dan sempurna.” (Dias Nurul Fajriani)
Editor: Latri Rastha Dhanastri